AHLI WARIS

MAKALAH
                  
AHLI WARIS


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Syari’at Islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya. Agama Islam menetapkan hak milik seseorang atas harta, baik laki-laki atau perempuan melalui jalan syara’, seperti perpindahan hak milik laki-laki dan perempuan di waktu masih hidup ataupun perpindahan harta kepada para ahli warisnya setelah ia meninggal dunia. Islam tidak mendiskriminasikan antara hak anak kecil dan orang dewasa. Kitabullah yang mulia telah menerangkan hukum-hukum waris dan ketentuan masing-masing ahli waris secara gamblang, dan tidak membiarkan atau membatasi bagian seseorang dari hak kewarisanya. Al-Qur’an al-Karîm dijadikan sandaran dan neracanya. Hanya sebagian kecil saja (perihal hukum waris) yang ditetapkan dengan Sunnah dan Ijma’. Di dalam syari’at Islam tidak dijumpai hukum-hukum yang diuraikan oleh al-Qur’an al-Karîm secara jelas dan terperinci sebagaimana hukum waris.
Membicarakan kewarisan (farâidh) berarti membicarakan hal ihwal peralihan harta dari orang yang telah mati sebagai pemberi waris (al-muwarris) kepada orang yang masih hidup sebagai ahli waris (al-wâris). Artinya warisan merupakan esensi kausalitas (sebab pokok) dalam memiliki harta, sedangkan harta merupakan pembalut kehidupan, baik secara individual maupun secara universal.

1.2.       Rumusan Masalah
1)        Apa pengertian Ahli Waris?

BAB II
PEMBAHASAN
Kata “ahli waris” dalam bahasa arab disebut “الوارث “ –yang secara bahasa berarti keluarga–tidak secara otomatis ia dapat mewarisi harta peninggalan pewarisnya yang meninggal dunia.[1] Karena kedekatan hubungan keluarga juga dapat mempengaruhi kedudukan dan hak-haknya untuk mendapatkan warisan. Terkadang yang dekat menghalangi yang jauh, atau ada juga yang dekat tetapi tidak dikategorikan sebagi ahli waris yang berhak menerima warisan, karena jalur yang dilaluinya perempuan.
Sedangkan pengertian ahli waris (الوارث ) secara istilah adalah orang yang menerima atau memiliki hak warisan dari tirkah (harta peninggalan) orang yang meninggal dunia (pewaris). Untuk berhaknya dia menerima harta warisan itu diisyaratkan dia telah dan hidup saat terjadinya kematian pewaris. Dalam hal ini termasuk pengertian ahli waris janin yang telah hidup dalam kandungan, meskipun kepastian haknya baru ada setelah ia lahir dalam keadaan hidup. Hal ini juga berlaku terhadap seseorang yang belum pasti kematiannya.[2] Tidak semua ahli waris mempunyai kedudukan yang sama, melainkan mempunyai tingkatan yang berbeda-beda secara tertib sesuai dengan hubungnnya dengan si mayit.

Ahli waris itu ada yang ditetapkan secara khusus dalam al-Qur’an dan langsung oleh Allah dalam al-Qur’an dan oleh Nabi dalam hadisnya; ada juga yang ditentukan melalui ijtihad dengan meluaskan lafaz yang terdapat dalam nash hukum dan ada pula yang dipahami dari petunjuk umum dari al-Qur’an dan atau hadis Nabi. Artinya para ahli waris yang mempunyai hak waris dari seseorang yang meninggal dunia –baik yang ditimbulkan melalui hubungan turunan (zunnasbi), hubungan periparan (asshar), maupun hubungan perwalian (mawali)– dapat dikelompokkan atas dua golongan, yakni (1) ahli waris yang hak warisnya mengandung kepastian, berdasarkan ittifaq oleh para ulama dan sarjana hukum Islam, dan (2) golongan yang hak warisnya masih diperselisihkan (ikhtilâf) oleh para ulama dan sarjana hukum Islam.[3]
Macam-macam ahli waris ditinjau dari sebab-sebabnya, dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
1)        Ahli waris nasabiah.
2)         Ahli waris sababiyah.
Apabila dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima mereka, ahli waris dapat dibedakan kepada:
1)        Ahli waris ashâb al-furûdh, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang besar kecilnya telah ditentukan dalam al-Qur’an, seperti 1/2, ¼, 1/8, 1/3, 1/6 dan 2/3.
2)        Ahli waris ‘ashabah, yaitu ahli waris yang bagian yang diterimanya adalah sisa setelah harta waris dibagikan kepada ahli waris ashâb al-furûdh.
3)        Ahli waris zawi al-arhâm, yaitu ahli waris yang sesungguhnya memiliki hubungan darah, akan tetapi menurut ketentuan al-Qur’an tidak berhak menerima warisan.[4]
Apabila ahli waris dilihat dari jauh dekatnya hubungan kekerabatan, sehingga yang dekat lebih berhak menerima warisan daripada yang jauh, dapat dibedakan menjadi:
1)        Ahli waris hâjib, yaitu hali waris yang dekat yang dapat menghalangi ahli waris yang jauh, atau karena garis keturunannya yang menyebabkannya dapat menghalangi ahli waris yang lain.
2)        Ahli waris mahjûb, yaitu ahli waris yang jauh yang terhalang oleh ahli waris yang dekat hubungan kekerabatannya. Ahli waris ini dapat menerima warisan, jika yang menghalanginya tidak ada.[5]
Sedangkan apabila ahli waris dilihat dari jenis kelamin yang berhak menerima warisan, baik ahli waris nasabiyah maupun sababiyah seluruhnya ada 25 orang, yang terdiri dari 15 orang ahli waris laki-laki dan 10 orang ahli waris perempuan.

Ahli waris menurut jenis kelamin laki-laki ( الوارثون ), yaitu:
1)        Anak laki-laki ( الابن )
2)        Cucu laki-laki dari anak laki-laki ( ابن الابن) dan seterusnya ke bawah
3)        Bapak (الأب )
4)        Kakek dari bapak (الجد من جهة الأب ) dan seterusnya ke atas
5)        Saudara laki-laki sekandung (الاخ الشقيق )
6)        Saudara laki-laki sebapak (الاخ للأب )
7)        Saudara laki-laki seibu (الاخ للام )
8)        Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung (ابن الاخ الشقيق )
9)        Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak (ابن الاخ للأب )
10)    Paman sekandung (العم الشقيق )
11)    Paman sebapak (العم للأب )
12)    Anak laki-laki paman sekandung (ابن العم الشقيق )
13)    Anak lakai-laki paman sebapak (ابن العم للأب )
14)    Suami ( الزوج )
15)    Orang laki yang memerdekakan mayit ( المعتق).
Bila ahli waris laki-laki tersebut berkumpul (ada semua), maka yang berhak menerima warisan hanyalah anak laki-laki, bapak, dan suami.

Ahli waris menurut jenis kelamin perempuan ( الوارثات ), yaitu:
1)        Anak perempuan (البنت )
2)        Cucu perempuan dari anak laki-laki ( بنت الابن ) dan seterunya ke bawah
3)        Ibu ( الام )
4)        Ibu dari bapak (الجدة من جهة الأب )
5)        Ibu dari ibu (الجدة من جهة الام )
6)        Saudara perempuan sekandung (الاخت الشقيقة )
7)        Saudara perempuan sebapak (الاخت للأب )
8)        Saudara perempuan seibu (الاخت للام ).
9)        Istri ( الزوجة )
10)    Orang perempuan yang memerdekakan mayit ( المعتقة ).[6]
Bila berkumpul seluruh ahli waris kelompok perempuan tersebut, maka yang berhak menerima warisan hanyalah anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, dan saudara perempuan kandung atau sebapak, dan istri. Namun demikian, bila berkumpul seluruh ahli waris laki-laki dan perempuan (25 orang ahli waris ada semua), maka yanag berhak menerima warisan hanyalah anak laki-laki, anak perempuan, bapak, ibu, suami atau istri.[7] Sehingga jelas, tidak setiap ahli waris secara otomatis dan berhak mendapat warisan, artinya mereka sangat tergantung pada kedudukan dan kedekatannya dengan si mayyit sebagai al-muwarris (المورث ).

1)        Ahli Waris Nasabiyah
Ahli waris nasabiyah adalah ahli waris yang pertalian kekerabatannya kepada al-muwarrisdidasarkan pada hubungan darah. Ahli waris nasabiyah ini seluruhnya ada 21 orang , terdiri dari 13 orang ahli waris laki-laki dan 8 orang ahli waris perempuan. Untuk memudahkan pemahaman lebih lanjut, akan penulis bahas Ahli waris nasabiyah berdasarkan kelompok dan tingkatan kekerabatannya.
Ahli waris laki-laki, jika didasarkan pada urutan kelompoknya adalah sebagai berikut :[8]
a.         Anak laki-laki (الابن )
b.         Cucu laki-laki dari anak laki-laki (, ابن الابن) dan seterusnya ke bawah
c.         Bapak (الأب )
d.        Kakek dari garis bapak ( الجد من جهة الأب ) dan seterusnya ke atas
e.         Saudara laki-laki sekandung (الاخ الشقيق )
f.          Saudara laki-laki sebapak (الاخ للأب )
g.         Saudara laki-laki seibu (الاخ للام )
h.         Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung (ابن الاخ الشقيق )
i.           Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak (ابن الاخ للأب )
j.           Paman sekandung (العم الشقيق )
k.         Paman sebapak (العم للأب )
l.           Anak laki-laki paman sekandung ( ابن العم الشقيق )
m.       Anak laki-laki paman sebapak (ابن العم للأب ).
Adapun ahli waris perempuan semuanya ada 8 orang, yang rinciannya sebagai berikut:
a.         Anak perempuan (البنت )
b.         Cucu perempuan dari anak laki-laki ( بنت الابن ) dan seterunya ke bawah
c.         Ibu ( الام )
d.        Nenek dari garis bapak (الجدة من جهة الأب )
e.         Nenek dari garis ibu (الجدة من جهة الام )
f.          Saudara perempuan sekandung ( الاخت الشقيقة )
g.         Saudara perempuan sebapak ( الاخت للأب )
h.         Saudara perempuan seibu ( الاخت للام ).[9]
Dari ahli waris nasabiyah tersebut di atas, apabila dikelompokkan menurut tingkat atau kelompok kekerabatanya adalah sebagai berikut :
1. Furû’ al-wâris ( فروع الوارث ), yaitu ahli waris kelompok anak keturunan al-muwarris (المورث), atau disebut dengan kelompok cabang (al-bunuwwahالبنوة). Kelompok ini adalah ahli waris yang terdekat dan mereka didahulukan dalam menerima warisan. Ahli waris yang termasuk kelompok ini adalah:
a)        Anak perempuan (البنت )
b)        Cucu perempuan garis laki-laki ( بنت الابن)
c)        Anak laki-laki ( الابن )
d)       Cucu laki-laki garis laki-laki ( ابن الابن )
2) Usûl al-wâris ( اصول الوارث ), yaitu ahli waris leluhur al-muwarris (المورث). Kedudukan meskipun sebagai leluhur, tetapi dikelompokkan berada setelah furû’ al-wâris. Mereka adalah:
a)        Bapak ( الأب )
b)        Ibu ( الام )
c)        Kakek garis bapak ( الجد من جهة الأب )
d)       Nenek dari garis bapak ( الجدة من جهة الأب )
e)        Nenek garis ibu ( الجدة من جهة الام )
3) Al-hawâsyi ( الحواشى ), yaitu ahli waris kelompok samping, termasuk di dalamnya saudara, paman dan keturunannya. Seluruhnya ada 13 orang, yaitu:
a)        Saudara perempuan sekandung ( الاخت الشقيقة )
b)        Saudara perempuan sebapak (الاخت للأب )
c)        Saudra perempuan seibu ( الاخت للام )
d)       Saudara laki-laki sekandung ( الاخ الشقيق )
e)        Saudara laki-laki sebapak ( الاخ للأب )
f)         Saudara laki-laki seibu ( الاخ للام )
g)        Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung ( ابن الاخ الشقيق )
h)        Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak (ابن الاخ للأب )
i)          Paman sekandung ( العم الشقيق )
j)          Paman sebapak ( العم للأب )
k)        Anak laki-laki paman sekandung (ابن العم الشقيق )
l)          Anak laki-laki paman seayah (ابن العم للأب ).[10]
2)        Ahli Waris Sababiyah
Ahli waris sababiyah adalah ahli waris yang hubungan kewarisannya timbul karena ada sebab-sebab tertentu, yaitu:[11]
a.         Sebab perkawinan (al-musâharah) yaitu suami atau istri.
b.         Sebab memerdekakan hamba sahaya (wala’ul ‘ataq).
c.         Sebab adanya perjanjian tolong menolong menurut sebagian mazhab Hanafiyah (wala’ul muwalah).

Kata al-furûdh (فروض) adalah bentuk jamak dari kata al-fardh (الفرض), artinya bagian atau ketentuan.[12] Para ulama memberikan definisi yang beragam secara redaksional tentang kata al-fardhini, namun secara substansi memiliki kesamaan persepsi dan maksud, yakni bagian atau ketentuan. Sedangkan kata al-muqaddarah (المقدرة) berasal dari kata قدر"” artinya bagian (قسمة) atau ketentuan (نصيب); al-muqaddarah (المقدرة) juga berarti ditentukan besar kecilnya.[13] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa al-furûdh al-muqaddarah (المقدرة الفروض) adalah bagian-bagian yang telah ditentukan besar kecilnya di dalam al-Qur’an yang tidak bertambah kecuali karena radd dan tidak berkurang kecuali karena ‘aul. Bagian-bagian tersebut itulah yang akan diterima oleh ahli waris menurut jauh dekatnya hubungan kekerabatan.
Adapun macam-macam al-furûdh-muqaddarah (المقدرة الفروض) yang diatur secara rinci di dalam al-Qur’an ada 6 (enam), yaitu:
1)        Setengah/separoh (1/2 = al-nisfالنصف )
2)        Sepertiga (1/3 = al-sulus, الثلث )
3)        Seperempat (1/4 = al-rubu’الربع )
4)        Seperenam (1/6 = al-sudusالسدس )
5)        Seperdelapan (1/8 = al-sumunالثمن )
6)        Dua pertiga (2/3 = al-sulusainالثلثين ).[14]
Dasar hukum al-furûdhh al-muqaddarah (المقدرة الفروض) tersebut adalah terdapat dalam surat an-Nisâ [3] ayat 11-12.
Ketentuan tersebut pada dasarnya wajib dilaksanakan, kecuali dalam kasus-kasus tertentu, karena ketentuan tersebut tidak dapat dilaksanakan secara konsisten. Misalnya apabila di dalam pembagian harta warisan terjadi kekurangan harta, maka cara penyelesaiannya adalah masing-masing bagian warisan yang diterima dikurangi secara proporsional, yang secara teknis ditempuh dengan menaikkan angka asal masalah. Masalah ini disebut dengan masalah ‘aul. Demikian juga apabila terjadi kelebihan harta, maka kelebihan harta tersebut pada prinsipnya dikembalikan kepada ahli waris secara proporsional. Masalah ini disebut dengan radd, yang secara teknis diselesaikan dengan menurunkan angka masalah sebesar dengan jumlah yang diterima ahli waris.

BAB III
PENUTUP

3.1.    Kesimpulan
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa ahli waris (al-wâris) sebagai orang yang berhak menerima warisan dari al-muwarris dapat dikelompokkan menjadi dua; Pertama, ahli warisnasabiyah, yaitu ahli waris karena adanya hubungan nasab atau kekerabatan (al-qarabah); Kedua, ahli waris sababiyah, yaitu ahli waris karena adanya sebab, baik perkawinan (zaujiyah) maupun memerdekakan budak (wala’).
Secara umum ahli waris baik nasabiyah maupun sababiyah, laki-laki dan perempuan berjumlah 25 orang; 15 orang ahli waris laki-laki dan 10 orang ahli waris perempuan. Diantara ahli waris tersebut ada yang mendapat bagian tertentu (al-furûdh al-muqaddarah) berdasarkan al-Qur’an ada enam, yakni 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6. Ahli waris yang mendapat bagian tertentu itu disebut denganashâb al-furûdh atau zawil furûdhAshâb al-furûdh اصحاب الفروض) ) terbagi dua, yaitu: ashâb al-furûdh al-nasabiyah (اصحاب الفروض النسبية ) dan ashâb al-furûdh al-sababiyah (اصحاب الفروض السببية ). Jika semua ahli waris yang 25 orang itu ada semua, maka yang berhak mendapat warisan adalah hanya anak laki-laki, anak perempuan, bapak, ibu, suami atau istri.

3.2.    Saran
Demikian semoga bermanfaat, ambillah yang jernih dan tinggalkan yang keruh. Semoga Allah memberikan ilmu yang bermanfaat pada kita semua, Amien.

DAFTAR PUSTAKA

Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta, PT. rajaGrafindo, 2002.
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta, Prenada Media, 2003.
Usman, Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris: Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2002.




[1]  Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris, Jakarta, PT. rajaGrafindo, 2002, hlm. 59
[2] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta, Prenada Media, 2003, hlm. 154.
[3] lihat, Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris: Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2002, hlm. 63 dan 65
[4] Ibid, hlm. 59-60
[5] Ibid.
[6]  Ibid
[7]  Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 162.
[8]  Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 61
[9] Ibid, hlm. 62
[10]  Ibid, hlm. 63; Bandingkan dengan Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, op.cit., hlm. 67.
[11]  Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 64.
[12] Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, op.cit., hlm. 65; Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 65.
[13]. Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 65
[14] Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, op.cit., hlm. 66


Baca juga:

AHLI WARIS | Gusti Rohwan | 5

0 comments:

Post a Comment