Al-Muharramat



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang Masalah
Menikah adalah sunah Rasulullah SAW. untuk dilaksanakan oleh umatnya[1]. Menikah adalah jalan kemuliaan yang diridhai dan dimudahkan pengaturannya dalam Islam. Dengan menikah pula maka seseorang dapat terhindar dari kemaksiatan dan kehinaan yang sekarang ini seringkali di promosikan secara besar-besaran diberbagai media masa dewasa ini.
Salah satu barakah yang Allah SWT berikan kepada hamba-Nya yang menyegerakan diri untuk menikah adalah dijamin-Nya kecukupan rezeki. Tetapi tidak semua lawan jenis boleh kita nikahi, ada beberpa golongan yang tidak dibolehkan atau haram untuk dinikahi, salah satunya yaitu mahram (Al-Muharramah) yang akan kita bahas dalam makalah ini.

1.2.       Rumusan Masalah
a.         Apa pengertian Al-Muharramat ?

1.3.       Tujuan Penulisan
a.         Mengetahui apa pengertian Al-Muharramat.
b.        Untuk mengetahui wanita-wanita yang termasuk al-muharramat.
c.         Untuk mengetahui berapa golongan wanita yang termasuk al-muharramat.



BAB II
PEMBAHASAN


Al-muharramat jama’ dari kata muhrim, yang bermakna wanita-wanita yang menurut syara’ haram dinikahi oleh seorang laki-laki. Faktor-faktor yang menghalangi terjadinya perkawinan terkadang di ungkapkan dengan kalimat “Faktor-faktor yang mengharamkan pernikahan’.
Perlu kami pertegas bahwa yang dimaksud “haram” dalam pembahasan kita kali ini adalah pernikahan tersebut menimbulkan dosa dan tidak sah. Sebab, kata “haram” kadang juga digunakan untuk merujuk arti “berdosa tapi sah”[2], seperti dalam kasus menikahkan wanita yang ada dalam pinangan orang lain.
Keharaman untuk dinikahi ada yang bersifat selamanya dan ada pula yang bersifat sementara.

Orang yang haram dinikahi berdasarkan nash syar’i ada delapan belas, yakni:

a.         Tujuh dari jalur nasab:
1.         Ibu kandung ke atas  (nenek, ibu nenek seterusnya);
2.         Anak perempuan kandung ke bawah (cucu, anak cucu seterusnya);
3.         Saudara perempuan baik sekandung, sebapak atau seibu;
4.         Saudara perempuan bapak;
5.         Saudara perempuan ibu;
6.         Anak perempuan saudara laki-laki dan
7.         Anak perempuan saudara perempuan.
b.        Tujuh  dari jalur susuan, rinciannya sama seperti sebab senasab di atas.
c.         Empat dari jalur ikatan pernikahan:
1.         Ibu istri (mertua);
2.         Anak perempuan istri (anak tiri) jika terjadi hubungan badan dengan ibunya;
3.         Istri ayah (ibu tiri) dan
4.         Istri anak (menantu).

Dalam hukum fiqih Mazhab Syafi’i, wanita yang haram dinikahi itu terbagi dua, yakni:
A.      Selamanya Haram Untuk Dinikahi (Mahram ‘ala ta’bid)
Berdasarkan nash Al-Qur’an, penyebab keharaman selamanya ini ada tiga, yaitu:
Yang disebabkan hubungan kekerabatan ini sebagaimana rincian yang di atas yakni; ibu kandung ke atas  (nenek, ibu nenek seterusnya)anak perempuan kandung ke bawah (cucu, anak cucu seterusnya)saudara perempuan baik sekandung, sebapak atau seibusaudara perempuan bapak; saudara perempuan ibu; anak perempuan saudara laki-laki dan anak perempuan saudara perempuan. Sebagaimana yang dinyatakan pada firman Allah:
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/urˈF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[3]; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan....”(QS. An-Nisa’: 23)
Menurut ijma’ ulama, seorang wanita haram menikah dengan anak zinanya. Perbedaan antara anak sah dengan anak zina ialah bahwa anak zina itu seolah-olah seperti bagian dari tubuh ibunya kemudian terpisah menjadi manusia. Ini tidak sama dengan sperma yang menjadi asal kelahiran, sehingga anak perempuan yang sah dinisbahkan kepada ayahnya.

Ada tujuh wanita yang haram dinikahi sebab susuan, ini masih berkaitan dengan faktor nasab sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Setiap wanita yang menyusui seorang lelaki, atau wanita yang menyusui ibu/wanita yang menyusui seorang lelaki atau melahirkan suami dari wanita yang menyusui seorang lelaki, baik ada penengah ataupun tidak, berarti dia adalah ibu susuan dari lelaki tersebut. Mahram yang lain bisa di analogikan dengan ketentuan tersebut. dasarnya yakni firman Allah:
ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur šÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$#
“....Ibu-ibu yang menyusui kalian, saudara-saudara perempuan sesusuan kalian...,” (QS. An-Nisa’: 23), dan hadits Nabi: “Diharamkan sebab sesusuan apa yang diharamkan sebab nasab”[4]
Namun, dari tujuh wanita tersebut di atas, hanya ada dua wanita yang haram dinikahi murni karena susuan, selebihnya adalah dikarenakan faktor nasab susuan.

Ada empat orang yang haram dinikahi selamanya karena hubungan pernikahan. Mereka adalah istri ayah (ibu tiri), sesuai dengan firman Allah: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu.....[5], ibu istri/mertua (begitu pula neneknya), anak perempuan istri (anak tiri) jika terjadi hubungan badan dengan ibunya,dan istri anak (menantu). Keharaman ini berlaku begitu akad terjalin, sebagaimana firman Allah: “anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)....[6]
Apa yang dimaksud akad disini adalah akad nikah yang shahih (yang diterima keabsahannya), pernikahan yang fasik tidak berpengaruh pada keharaman nikah karena pernikahan.

Ini bagian kedua dari orang-orang yang haram dinikahi. Keharaman mereka ini berlaku tidak selamanya, melainkan hanya berlaku sementara saja dan hanya terjadi pada satu sebab, yakni menghimpun beberapa istri, di antara contohnya sebagai berikut:
Satu orang laki-laki haram menikahi wanita berikut saudara, bibi dari pihak ayah, ataupun bibi dari pihak ibu perempuan tersebut, baik itu senasab maupun sesusuan, tanpa membedakan sekandung, seayah atau seibu. Seandainya dia menetang dan menikahi dua orang yang haram dihimpun tersebut maka nikah kedua-duanya batal. Sebab tidak ada yang lebih utama satu dari yang lain. Jika akad nikahnya dilaksanakan berurutan maka akad yang pertama sah dan yang kedua batal. Dalilnya yaitu firman Allah: “...menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara....”[7] serta hadits Nabi : “Seorang wanita tidak boleh dinikahi sekaligus dengan bibi dari ibunya, tidak bibi dari ayahnya berikut anak perempuan saudara laki-lakinya, tidak wanita berikut bibi dari ibunya, tidak bibi dari ibu berikut anak perempuan dari saudara perempuannya, tidak kakaknya berikut adiknya, tidak pula adik berikut kakaknya”[8]

Seorang lelaki hanya boleh menikahi maksimal empat wanita saja, berdasarkan firman Allah: “...Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat...”[9] dan hadits Nabi: “Pertahankan (pernikahan) yang empat, dan ceraikan sisanya”[10]
Apabila ada seseorang menikahi lima wanita sekaligus, maka semua pernikahan itu batal mengingat tidak ada yang lebih utama antara yang satu dengan yang lainnya. Jika pernikahannya berurutan, maka pernikahan yang kelima batal dan yang empat itu sah.


BAB III
PENUTUP

3.1.       Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa Islam sebagai agama yang paling sempurna telah mengatur semua sendi kehidupan manusia termasuk dalam hal pernikahan, hal ini dapat kita lihat dari banyaknya dalil baik itu dalam Al-Qur’an maupun hadits Nabi yang mengatur tentang pernikahan.
Pernikahan sebagai jalan kemaslahatan dan kebahagiaan tentu memiliki kaidah-kaidah atau aturan-aturan tersendiri. Ada wanita yang boleh untuk kita nikahi dan ada pula yang tidak boleh, hal ini tertera secara jelas dalam Al-Qur’an maupun dalam hadits Nabi.

3.2.       Saran
Sebagai seorang muslim yang insya Allah suatu saat juga akan menjalahi pernikahan, sebaiknya kita mempelajari dan memahami aturan-aturan Islam tentang pernikahan, termasuk siapa saja yang boleh kita nikahi dan siapa yang tidak boleh.

  

DAFTAR PUSTAKA

Zuhaili, Wahbah. 2010. Fiqih Imam Syafi’i jilid II (terjemahan). Jakarta: Almahira



[1] M.M.A. Al-Hanafy. Jangan Takut Menikah. Mutiara Media. Yogyakarta.  2009. hal. 1
[2] Prof. Dr. Wahbah Zuhaili. Fiqih Imam Syafi’i (jilid II Terjemahan)Al-Mahira. Jakarta: 2010. hal. 489
[3] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah.
[4] HR. Asy-Syaikhani. Dalam riwayat lain disebutkan “...apa yang diharamkan sebab persalinan”
[5] Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 22.
[6] Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 23.
[7] Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 23.
[8] HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi-dia menshahihkan hadits ini-, dan an-Nasa’i.
[9] Al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 3.
[10] HR. At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, al-Hakim dan yang lain, mereka menshahihkannya.
Al-Muharramat | Gusti Rohwan | 5

0 comments:

Post a Comment